Friday, July 18, 2008

TEKNOSABO SEBAGAI TEKNOLOGI BERSIH

Selama ini masih banyak anggapan bahwa teknosabo identik dengan pembangunan Sabo dam yang berskala besar dengan beaya yang mahal, bahkan acapkali bangunan tersebut dianggap sebagai monumen manakala fungsinya tidak bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga dianggap pula bertentangan dengan kaidah ilmu lingkungan. Padahal ketika bangunan Sabo itu selesai dibangun sebenarnya bangunan tersebut telah berfungsi, yakni sebagai preventive structure terhadap kemungkinan terjadinya gerakan massa debris pada waktu yang akan datang. Jika tidak ada bangunan Sabo dam di Kali Boyong (BO-D6) maka gerakan massa debris akibat lahar Gunung Merapi Yogyakarta /Jawa Tengah pada tahun 1994 akan menelan korban yang jauh lebih besar.

Pekerjaan Sabo tak selalu identik dengan pembangunan melalui rekayasa sipil, Bahkan kegiatan pemberitaan dini terhadap kemungkinan akan adanya bahaya juga merupakan bagian dari pekerjaan Sabo. Demikian pula pekerjaan penghutanan kembali atau penghijauan di daerah hillside Sabo works serta pemasangan gebalan rumput pada tanggul suatu alur sungai juga merupakan bagian dari pekerjaan Sabo. Bagaimanapun juga penerapan teknosabo dengan pendekatan vegetatif merupakan hal yang penting dan tak tergantikannya fungsi vegetatif dalam kontek lingkungan. Namun demikian, disadari bahwa hasil dari upaya vegetatif masih bersifat jangka panjang bahkan masih mengalami banyak kendala jika diterapkan di daerah puncak suatu gunungapi aktif yang masih gundul karena pengaruh aktivitas vulkanik dari dalam dapur magma, sehingga diperlukan kombinasi dengan pendekatan teknik sipil yang bersifat quick yielding.

Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan ke depan menuju ke arah yang lebih baik. Tujuan penerapan teknosabo ke depan sekurang-kurangnya : Pertama, melindungi masyarakat dan harta miliknya dari ancaman bencana alam yang disebabkan oleh gerakan massa debris, dan menciptakan rasa aman bagi mereka. Kedua, memelihara kelestarian sumber daya alam, meningkatkan atau memperbaiki kondisi lingkungan sekitar. Ketiga, melindungi lahan-lahan produktif dan infrastruktur dari ancaman gerakan massa debris tersebut.

Jika penerapan teknosabo ke depan dapat dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik dan penuh kearifan maka tidaklah berlebihan jika dikatakan teknosabo sepantasnya menjadi TEKNOLOGI BERSIH (clean technology).



Balai Sabo merupakan CENTER OF EXCELLENCE
Pusat Rujukan Ilmiah dan Pusat Informasi (Scinetific Backbone) Teknosabo


TANTANGAN KE DEPAN

Secara umum tujuan penerapan teknosabo adalah mengendalikan gerakan massa debris (sedimen dan bahan rombakan lain) dengan prinsip MENGURANGI, MENGHAMBAT dan MENCEGAH gerakan massa debris agar tidak membahayakan dan menimbulkan kerugian baik jiwa maupun harta benda. Kecuali itu, TANPA DISADARI bangunan Sabo tersebut sekaligus akan memberikan sumbangan yang besar bagi naiknya muka air tanah guna mengisi akuifer sehingga akan memperoleh SAND FILLED RESERVOIR dan sekaligus sebagai bank penyimpan cadangan air baku.

Apakah kegiatan penghutanan kembali (reforestation) atau penghijauan (regreening) juga dapat dikategorikan sebagai kegiatan Sabo. Prinsip penanggulangan bencana alam yang disebabkan oleh gerakan massa debris adalah mengendalikan gerakan massa debris tersebut agar tidak merusak atau membahayakan. Penggundulan hutan merupakan salah satu penyebab terjadinya gerakan massa debris. Dengan vegetasi penutup yang baik di daerah pegunungan maka koefisien pengaliran menjadi kecil dan kemampuan air untuk menggerus tanah menjadi berkurang, dan akan memperkecil gerakan massa debris. Oleh sebab itu, teknosabo merupakan kombinasi antara pekerjaan vegetasi dan rekayasa keteknikan dan karenanya dikatakan sebagai synthetic technology yang layak diterapkan guna menanggulangi bencana alam oleh gerakan massa debris.

Gerakan massa debris tidak selalu bergerak dari atas ke bawah atau dari hulu ke hilir. Bencana TSUNAMI yang terjadi pada akhir 2004 juga merupakan gerakan massa debris yang sangat luar biasa, dimana aliran bergerak dari hilir ke hulu oleh hempasan gelombang pasang. Debris dan bahan rombakan lain yang terangkut juga menimbulkan kerusakan yang dahsyat pada DAS dan sumber-sumber air termasuk prasarananya, mengakibatkan pencemaran sumber-sumber air dan mengganggu penyediaan air baku bagi masyarakat. Endapan debris (sedimen dan bahan rombakan lain) pada sungai-sungai telah pula mengganggu dan menurunkan kapasitas alur sungai. Kondisi ini sangat membahayakan dan berpotensi menimbulkan bencana berikutnya berupa banjir atau gerakan massa debris berikutnya. Hantaman gelombang pasang dan endapan debris juga merusak jaringan irigasi. Bencana juga telah merusak pantai dengan segala ekosistemnya. Suatu tantangan baru dapatkah teknosabo memberikan andil dalam masalah ini.

Sebagai perisai terdepan dalam mengendalikan gerakan massa debris, pekerjaan Sabo dapat dikelompokkan menjadi tiga wilayah pengendalian. Pengendalian di daerah hulu dengan menerapkan HILLSIDE SABO WORKS, daerah tengah pada alur sungai dengan TORRENT SABO WORKS, dan daerah pantai dengan COASTAL SABO WORKS. Pada saat ini penerapan teknosabo masih terbatas pada hillside dan torrent Sabo works. Penerapan teknosabo untuk menanggulangi abrasi pada pantai dan tsunami dengan menerapkan coastal Sabo works merupakan suatu tantangan baru yang perlu dipikirkan bersama dan dikaji dengan lebih
arif.

PENERAPAN TEKNOSABO SAMPAI SAAT INI


Sampai saat ini teknosabo telah diterapkan baik di daerah vulkanik maupun nonvulkanik. Pendekatan vegetatif memasyarakat.lalui kegiatan penghutanan (reforestation), penghijauan (regreening) dilakukan khususnya oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan pendekatan melalui rekayasa teknik sipil dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Pada setiap daerah otonomi kedua pendekatan tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan partisipasi

Daerah yang telah menerapkan Teknosabo


Pengendalian gerakan massa debris dapat dilakukan secara struktur maupun non-struktur.







FAKTOR PEMANTIK BENCANA ALAM

1. POSISI INDONESIA

Posisi Indonesia yang terletak dalam Busur Vulkanik Lingkar Pacifik (Circum Pacific Volcanic Mobile Belt) dan Busur Vulkanik Trans Asiatik (Trans Asiatic Volcanic Belt) sehingga kurang lebih 17 % gunungapi di dunia terletak di Indonesia. Kenyataan ini ditandai dengan adanya tiga zona vulkanik di Indonesia, yakni Zona Pegunungan Alpin (Zona Pegunungan Sunda), Zona Asiatik Timur (Zona Minahasa-Sangir- Ragay), dan Zona Circum Australian (Zona Halmahera-Ternate). Kemudian memunculkan adanya sabuk gunungapi di Indonesia yang
dinamakan volcanic belt.

GUNUNGAPI AKTIF, LEMPENG TEKTONIK, RING OF FIRE


2. INDONESIA TERLETAK PADA KAWASAN HANCURAN

Beberapa daerah di Indonesia merupakan kawasan hancuran karena sesar sehingga memudahkan terjadinya bencana alam sedimen (sediment-related disaster)

Indonesia Volcanic Belt


Kerangka Tektonik (Simanjuntak, 1994)


3. TOPOGRAFI BERBUKIT

Indonesia merupakan negara yang mempunyai topografi berbukit, dimana di beberapa daerah dapat memiliki kemiringan lereng melebihi 30 derajat kondisi ini menyebabkan mudah terjadinya tanah longsor.

4. GARIS PANTAI CUKUP PANJANG

Sebagai negara maritim yang mempunyai garis pantai cukup panjang maka pengaruh laut juga memicu terjadinya abrasi pada pantai dan tsunami.

5. CURAH HUJAN TINGGI
ndonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai curah hujan sangat tinggi. Curah hujan rata-rata per tahun 2000 mm dan di daerah pegunungan dapat mencapai 4000 mm. Oleh sebab itu, Indonesia merupakan salah satu negara terkaya air di dunia.



6. PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

Perubahan iklim global ini mengakibatkan terjadinya iklim BAKU BALAS. Suhu udara di permukaan bumi pada tahun 1970 - 1980 relatif panas, dan antara 1980 - 1990 kembali relatif dingin. Perubahan ini terus berlangsung, dan pada awal abad 21 ini suhu udara di permukaan bumi kembali relatif panas, bahkan suhu atmosfer pada pertengahan abad 21 ini meningkat sekitar 3o C. Semua faktor yang mempengaruhi iklim, misalnya matahari dan berbagai fenomena geosfer, baik faktor alam maupun faktor manusia secara baku balas mempengaruhi terjadinya perubahan terhadap iklim global. Matahari berpengaruh langsung terhadap pemanasan terutama jika muncul dinamika di permukaannya, contohnya lidah api dan sunspot.






BENCANA ALAM DI INDONESIA

Bencana alam dapat didefinisikan sebagai GANGGUAN perubahan tata lingkungan sebagai akibat fenomena alam atau aktivitas manusia atau oleh kedua-duanya yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat, sulit diduga terjadinya, dan dapat menimbulkan kerugian jiwa maupun harta benda serta dapat menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Dari definisi di atas ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya bencana alam, yakni faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam bisa berasal dari dalam (endogen/ internal crustal processes) seperti gempa bumi atau letusan gunungapi, dan dari luar (eksogen/ external crustal processes) seperti banjir, kekeringan, gelombang pasang atau tsunami. Faktor manusia, misalnya berkaitan dengan pengelolaan bencana alam yang terjadi dalam suatu DAS.

Kedua faktor di atas, baik alam maupun manusia bisa menjadi subjek dan objek, menjadi pelaku dan penderita. Sebagai subjek atau pelaku, Indonesia dikaruniai alam yang amat kaya akan sumber daya alam. Namun, disisi lain sebagai negara kepulauan, dengan jumlah pulau (besar dan kecil) sebanyak kurang lebih 13.677 buah dan dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia merupakan negara yang AMAT RENTAN terhadap bencana alam TERUTAMA yang disebabkan oleh GERAKAN MASSA DEBRIS (gerakan sedimen dan bahan rombakan lain). Gerakan massa ini tidak hanya berupa gerakan sedimen melainkan juga bahan rombakan lain seperti terangkutnya batang-batang kayu dan lain-lain. Bencana alam ini terjadi antara lain oleh lahar akibat letusan gunungapi, tanah longsor yang dapat berupa terban (landslides) atau galodo (slope failures), serta gerakan debris oleh bahan rombakan lain termasuk tsunami.


Wednesday, July 16, 2008

Mengapa Indonesia Perlu Sabo?

Kata Pengantar

Lebih dari tiga dekade teknologi Sabo pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1970. Selama rentan waktu tersebut teknologi Sabo telah mengalami perkembangan dengan pesat. Jika pada awal perkembangannya teknologi Sabo hanya diperkenalkan sebagai teknologi untuk mengendalikan material sedimen di wilayah gunungapi, dewasa ini teknologi Sabo tersebut telah pula diterapkan di wilayah nonvulkanik khususnya pada wilayah sungai yang rawan bencana tanah longsor.

Dari hasil pengembangan teknologi Sabo, pada saat ini telah banyak dijumpai bangunan Sabo di beberapa wilayah di Indonesia. Namun, pemahaman akan fungsi bangunan tersebut serta mengapa teknologi ini begitu penting bagi bangsa Indonesia kiranya masih perlu terus disebarluaskan. Buku “Mengapa Indonesia Perlu Sabo” ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi wilayah Indonesia yang berada pada kawasan yang rawan bencana, serta dimaksudkan untuk memberikan pemahaman akan fungsi dan manfaat dari penerapan teknologi Sabo di Indonesia.

Kiranya buku ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi semua pihak, khususnya para pemangku kebijakan untuk memahami dan mengenal lebih jauh tentang kondisi kerentanan wilayah Indonesia serta perlunya penerapan teknologi Sabo dengan arif.


Ir. Chandra Hassan, Dip. HE., MSc

Your Ad Here

Selama ini masih banyak anggapan bahwa teknosabo identik dengan pembangunan Sabo dam yang berskala besar dengan beaya yang mahal, bahkan acapkali bangunan tersebut dianggap sebagai monumen manakala fungsinya tidak bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga dianggap pula bertentangan dengan kaidah ilmu lingkungan.