Wednesday, January 28, 2009

Teluk Ambon Terancam Pendangkalan Serius (1)

1. PENGANTAR
Kondisi Geomorfologi
Kota Ambon yang sebagian besar terdiri dari daerah perbukitan merupakan kawasan yang amat rentan terhadap terjadinya gerakan massa debris, baik yang berupa aliran debris maupun tanah longsor (debris flows, landslides and slope failures). Struktur geologi Kota Ambon sebagian besar tersusun oleh batuan sedimen dan batugamping berumur pra-tersier dan tersier serta sedikit endapan pantai di beberapa daerah.

Satuan perbukitan terbentang dari Timur Laut sampai Barat Daya menempati sekitar 70% dari luas Pulau Ambon dengan kemiringan lereng relatif curam. Kecuali itu, dijumpai pula jalur patahan (sesar) yang menuju Kecamatan Leihitu. Jalur sesar ini masuk dalam patahan tidak aktif. Namun, bisa menjadi aktif jika ada pergerakan lempeng bumi.

Dengan kondisi geologi dan topografi tersebut, kawasan Kota Ambon berpotensi terjadinya bencana alam gerakan massa debris. Bencana alam gerakan massa debris yang terjadi di Desa Amahusu dan Desa Eri, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Kepulauan Maluku pada tanggal 10 September 2008 telah menimbulkan korban jiwa 7 orang meningggal dunia (4 orang di Desa Amahusu dan 3 orang di Desa Eri), 20 unit rumah roboh dan hamparan debris menutup jalan utama Mahusu – Latuhalat yang notabene merupakan salah satu kawasan wisata andalan di Kota Ambon. Bencana alam aliran debris (debris flows) yang terjadi di Desa Amahusu tercatat telah terjadi beberapa kali. Yang terbesar terjadi pada tahun 1982, 1987, dan terakhir 2008, debris berasal dari Pegunungan Negeri Lama, Amahusu.

Untuk mendapatkan gambaran cara penanggulangan dan untuk mengantisipasi kemungkinan masih terjadinya bencana alam susulan, maka diberikan advis teknik yang dilaksanakan oleh Badan Litbang PU melalui Pusat Litbang Sumber Daya Air. Survei lapangan dilakukan di Kota Ambon (Gambar-1).

2. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN SARAN PENANGGULANGAN

2.1 Lokasi Sungai Air Bubawang dan Air Pupela
2.1.1 Permasalahan
Terjadi bencana alam akibat gerakan massa debris (air bercampur material dan bahan rombakan lain) dari Pegunungan Negeri Lama yang melalui Sungai Air Bubawang (Gambar – 2) pada tanggal 10 September 2008 mulai pukul 01.30 WIT dengan hujan deras selama 3 jam mulai pukul 05.00 – 08.00 WIT. Bencana tersebut telah mengakibatkan 20 buah rumah di Dusun Waistopong, Desa Amahusu roboh (Gambar - 3), 4 orang meninggal dunia dan jalan penghubung Amahusu – Latulahat terputus akibat tertimbun material termasuk patahnya sayap jembatan (Gambar - 4).

2.1.2 Dugaan terjadinya banjir material (debris flows)
(a) Terjadi alih fungsi lahan dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hunian di daerah hulu sungai. Pasca konflik, sebagian penduduk pindah ke daerah perbukitan sehingga berpengaruh terhadap fungsi vegetasi di daerah tersebut. Berkurangnya fungsi vegetasi tersebut telah meningkatkan aliran permukaan (runoff).
(b) Adanya curah hujan tinggi (267 mm) dengan durasi cukup lama (kurang lebih 7 jam).
(c) Kemiringan dasar sungai cukup terjal, di bagian hulu apex point lebih besar daripada 30o sehingga gaya traksi menjadi besar, dan dengan demikian gaya impak debris menjadi besar pula.
(d) Di bagian hilir apex point terjadi alluvial fan yakni daerah yang menjadi tempat penyebaran aliran debris. Karena kemiringan di daerah alluvial fan ini relatif kecil sehingga banyak warga yang membangun rumah disini. Rumah-rumah inilah yang kemudian roboh diterjang banjir debris.
(e) Lereng bukit dan dasar sungai berupa batuan vulkanik hasil erupsi gunungapi tua. Batuan dasar bersifat fractured dan mudah terdegradasi, mudah sekali lepas dan tidak mempunyai ikatan cukup kuat. Di hilir titik apex diameter agregat maksimum 30 cm, sedangkan di hulu titik apex diameter agregat mencapai 100 cm lebih. Lereng terjal, hujan lebat dan minimnya vegetasi penutup mempercepat terangkutnya material lereng bukit tersebut. Kecuali itu, akumulasi hasil longsoran dan erosi permukaan tanah di bagian hulu sungai. yang masuk ke dalam badan sungai serta mengendap dalam kurun waktu lama juga berpotensi sebagai sumber material banjir Apabila endapan material di badan sungai terakumulasi menjadi suatu masa tanah dengan volume yang besar, akan membentuk bendung alam dan menghambat laju aliran air. Jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan durasi yang lama, air hujan yang masuk ke dalam masa tanah mengakibatkan massa tanah menjadi kenyang air, berat massa tanah bertambah dan jika titik berat massa tanah tersebut bergeser dan kondisinya menjadi labil. Disamping itu, ikatan antara butiran tanah menjadi lemah. mudah lepas, maka terjadilah banjir debris.
(f) Air hujan tidak dapat meresap sampai ke bawah karena terdapat lapisan batuan yang kedap air, dan membentuk lapisan licin antara massa tanah dan massa batuan dasar sungai. Aklibatnya massa tanah yang bercampur air (debris) menjadi labil, dengan mudah lepas dan meluncur ke hilir dengan kecepatan tinggi dan terjadilah debris flows yang mempunyai daya rusak sangat tinggi.
(g) Gerakan massa debris yang mempunyai daya rusak sangat tinggi ini menyebar ke kanan kiri di daerah alluvial fan dan meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk.

2.1.3 Saran penanggulangan
Penanggulanagan dapat dilakukan baik secara phisik maupun nonphisik. Penanggulangan secara phisik dapat dilakukan antara lain dengan :
(a) Membuat sarana pengendali debris flows berupa beberapa Sabodam pada tempat tempat tertentu. Salah satu contoh desain Sabodam di Sungai Air Bubawang (Gambar-5) dapat dipertimbangkan untuk menyusun SID selanjutnya. Sabodam berfungsi untuk mengendalikan aliran agar tetap pada alur yang direncanakan, sebagai pemecah energi (energy dessipator) sehingga dapat meredam daya rusak yang tinggi dan sekaligus untuk mengendalian jumlah volume debris yang akan terangkut agar tidak mengalir ke hilir secara keseluruhan dalam waktu yang bersamaan.
(b) Membuat kantong sedimen (material debris) di daerah alluvial fan karena ini merupakan lokasi yang ideal untuk mencegah debris terus mengalir ke hilir dan mencemari Teluk Ambon.
(c) Membuat bangunan pengaman jembatan di hilir Sungai Air Pupela berupa groundsill. Dasar sungai pada lokasi jembatan ini tergerus dan mengalami penurunan cukup besar. Dikhawatirkan pada banjir banjir berikutnya penurunan dasar sungai akan terus berlangsung lagi dan membahayakan stabilitas konstruksi.

Sedangkan penanggulangan secara nonphisik antara lain dengan :
(a) Mengembalikan pola tata guna lahan di atas perbukitan Pegunungan Negeri Lama sebagai kawasan hutan. Jika lahan yang ada di atas bukit tersebut tidak diubah menjadi lahan tanaman keras maka air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah akan menyebabkan kandungan air dalam tanah meningkat, tanah menjadi jenuh, sehingga volume tanah bertambah dan beban lereng menjadi semakin berat. Gerakan massa debris segera terjadi.
(b) Mengaktifkan kembali sistem peringatan dini (warning system) secara tradisional serta meningkatkan kepedulian warga terhadap bencana.
(c) Memasang alat penakar hujan untuk memonitor data hujan yang menjadi pemantik utama terjadinya banjir debris.
(d) Membentuk posko bencana dan latihan pengungsian (evacuation drill), serta sosialisasi bencana kepada warga setempat.


2.2 Lokasi tebing longsor di Bintansiang, Dusun Eri, Desa Nusaniwe

2.2.1 Permasalahan
Longsornya tebing di Bintansiang, Dusun Eri (Gambar-6) terjadi pada tepi jalan yang menghubungkan Amahusu dan Latulahat. Tebing longsor ini juga terjadi pada tanggal 10 September 2008, bersamaan waktunya dengan bencana alam yang terjadi di Dusun Waistopong, Desa Amahusu dan mengakibatkan jatuh korban tiga warga meninggal dunia dan terputusnya satu-satunya jalan penghubung antara Amahusu – Latulahat karena tertutup material longsoran.


2.2.2 Dugaan terjadinya longsoran
Tanah longsor di Desa Eri terjadi karena adanya proses perpindahan massa tanah/batuan pada lereng yang disebabkan oleh pergeseran pusat gaya berat massa tanah tersebut ke arah bawah atau ke arah luar sehingga menimbulkan bencana (Gambar-7 ).


                                                                    Gambar-8 Sengkedan

Pergeseran pusat gaya berat ini terjadi karena tegangan geser rata-rata (shear stress) massa tanah tersebut sepanjang bidang gelincir sama dengan atau lebih besar daripada kuat geser (shear strength) tanahnya. Peningkatan tegangan geser ini dapat disebabkan oleh kombinasi daripada berbagai faktor seperti geologi, topografi, iklim dan kemungkinan pelapukan yang pada akhirnya akan mempengaruhi stabilitas suatu lereng.


Terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap timbulnya tanah longsor di Desa Eri. Pertama, faktor ekstern, yakni faktor-faktor yang dapat mengakibatkan peningkatan tegangan geser (shear stress) seperti kemiringan tebing bagian Selatan yang cukup tegak yakni lebih dari 70 derajat dan lereng bukit tersusun dari batuan vulkanik hasil erupsi gunungapi tua. Batuan dasar bersifat fractured dan mudah terdegradasi, mudah sekali lepas dan tidak mempunyai ikatan cukup kuat. Kedua, faktor intern, yakni faktor-faktor yang dapat mengakibatkan penurunan kuat geser (shear strength) karena adanya curah hujan tinggi (267 mm) dengan durasi cukup lama (kurang lebih 7 jam) sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan air pori (pore water pressure) dan peningkatan kadar air tanah.
2.2.3 Saran penanggulangan
Penanggulangan tanah longsor di Desa Eri dapat dilakukan baik secara phisik maupun nonphisik. Penanggulangan secara phisik (physical countermeasures) dilaksanakan dalam upaya mengurangi peningkatan tegangan geser, dan upaya untuk meningkatkan kuat geser lereng. Penanggulangan secara nonphisik (nonphysical countermeasures) dilaksanakan sebagai upaya mengurangi resiko terjadinya korban dan kerusakan infrastruktur.

Pennggulangan secara phisik antara lain dengan :
(a) Membuat sengkedan (Gambar-8) dengan ketinggian tertentu dengan tujuan untuk memperkecil jumlah massa tanah yang berpotensi longsor.
(b) Membuat bangunan chevron drain (Gambar-9) untuk drainase pada lereng, dan lateral drain untuk drainase melintang dan sekaligus berfungsi sebagai kolektor air permukaan sebelum dibuang ke chevron drain. Lateral drain ini sebaiknya didesain dengan kecepatan cukup besar 1,5 m/detik. Agar tidak mudah tergerus, konstruksi lateral drain ini dapat dibuat dari pasangan batu kali atau beton tetapi sebaiknya diberi deletasi dari bahan aspal atau karet.
(c) Membuat bangunan tembok penahan tanah (retaining wall) yang berfungsi untuk mencegah perubahan pusat gaya berat ke arah bawah. Konstruksi yang dipilih sebaiknya bukan yang kaku (rigid) melainkan yang fleksibel seperti bronjong atau pasangan batu kosong.

Sedangkan penanggulangan secara nonphisik antara lain dengan :
(e) Mengembalikan pola tata guna lahan di bagian atas perbukitan sebagai kawasan hutan.
(f) Membuat peta daerah rawan longsor dan disosialisasikan kepada masyarakat setempat dan pada semua masyarakat pengguna jalan.
(g) Memasang rambu rambu peringatan bahaya longsor.
(h) Memasang peralatan peringatan dini (warning system) pada daerah rawan longsor.
(i) Memasang alat penakar hujan untuk memonitor data hujan yang menjadi pemantik utama terjadinya tanah longsor.
(j) Membentuk posko bencana dan latihan pengungsian (evacuation drill), serta sosialisasi bencana kepada warga setempat.












2.3 Lokasi Way Ruhu dan Way Lateri

2.3.1 Permasalahan
Terjadi akumulasi endapan sedimen yang cukup besar baik di muara Sungai Way Ruhu maupun di Muara Sungai Way Lateri (Gambar–10). Apabila endapan sedimen ini berlangsung terus dan tidak terkendali akan mempersempit alur Teluk Ambon sehingga dikhawatirkan pelabuhan di Teluk Ambon yang digunakan untuk lalu lintas kapal Angkatan Laut RI dalam waktu tidak terlalu lama akan tidak dapat berfungsi.

2.3.2 Dugaan terjadinya akumulasi endapan sedimen
Dari hasil survei lapangan di bagian hulu Sungai Way Ruhu yakni di sekitar IAIN Ambon (Gambar-11) menunjukkan bahwa sungai dalam keadaan stabil dan aliran air sungai cukup jernih (tidak membawa sedimen) (Gambar-12) dan tidak terlihat adanya sumber sedimen yang berpotensi menimbulkan aliran sedimen, misalnya tanda-tanda adanya longsoran tebing. Jadi diduga kuat akumulasi endapan sedimen tersebut berasal dari sumber sedimen di daerah tengah sungai. Demikian pula yang terjadi di Sungai Way Lateri tidak terlihat adanya angkutan sedimen dari hulu sungai.

Data lapangan menunjukkan di daerah tengah sungai tersebut ada kegiatan land clearing maupun stripping, sehingga permukaan tanah terkupas tidak terlindung oleh vegetasi. Kegiatan ini merupakan bagian dari pembangunan perumahan-/pemukiman yang mulai marak di Kota Ambon (Gambar-13). Pada waktu musim penghujan, butiran tanah pada permukaan tanah yang terkupas dengan mudah terangkut air hujan dan masuk ke dalam badan air (sungai) dan selanjutnya terbawa aliran air sampai ke muara (Teluk Ambon).

Meskipun pada saat ini penambahan jumlah angkutan sedimen mulai berkurang karena sebagian kawasan pemukiman telah selesai dibangun tetapi permasalahan belum juga selesai karena Sungai Way Ruhu dan Way Lateri digunakan juga sebagai TPA sampah rumah tangga dari kawasan pemukiman tersebut. Terbukti di muara Sungai Way Ruhu dan Way Lateri juga dijumpai adanya limbah domestik baik limbah organik maupun anorganik.







2.3.3 Saran penanggulangan
Penanggulangan akumulasi endapan redimen di muara Sungai Way Ruhu dan Way Lateri disarankan sebagai berikut :
(a) Melakukan tindakan pencegahan (preventive actions) terjadinya erosi permukaan tanah pada waktu akan melaksanakan pembukaan lahan untuk perumahan/pemukiman (real estate) di masa mendatang, dan tindakan pencegahan ini mestnya menjadi tanggung jawab pengembang.
(b) Menutup permukaan tanah yang terkupas dengan terpal atau lembaran plastik agar air hujan tidak secara langsung jatuh pada permukaan tanah yang terkupas tersebut.
(c) Membuat sengkedan pada lereng-lereng perbukitan yang akan dibangun perumahan/pemukiman dan memasang karung karung berisi tanah pada tepi tepinya.
(d) Menanam pepohonan perdu disela-sela karung karung tanah tersebut (Gambar-14) agar bila pohon sudah tumbuh dengan baik akan dapat menggantikan fungsi karung karung tanah dan mencegah butiran tanah terangkut aliran air hujan
(e) Melakukan pengerukan (dredging) akumulasi sedimen di muara sungai (Teluk Ambon) agar tidak lagi mengganggu aktivitas Pelabuhan Angkatan Laut.
(f) Membangun beberapa bangunan Sabo dam pada beberapa lokasi disepanjang Sungai Way Ruhu dan Way Lateri yang berfungsi untuk mengendalikan angkutan sedimen dan memecah energi aliran air serta mengendalikan arah aliran, sehingga arah aliran banjir terpusat; pada palung sungai.


Gambar-14 Menanam pepohonan perdu disela-sela karung karung tanah

4. KESIMPULAN DAN SARAN TINDAK LANJUT


4.1 Kesimpulan
(a) Ambon mempunyai kedudukan yang strategis dalam pengembangan kawasan Indonesia Timur, khususnya Teluk Ambon sangat potensial dalam bidang pertahanan nasional, perekonomian, pendidikan, perikanan, wisata, dan lain lain sehingga menjadi tanggung jawab bersama untuk dijaga kelestariannya.
(b) Sebagai pusat kegiatan strategis di Pulau Ambon, Teluk Ambon sangat potencial dalam bidang :
- Pertahanan nasional (sebagai pangkalan utama Angkatan Laut RI).
- Perekonomian (merupakan pelabuhan besar).
- Pendidikan (sebagai laboratorium dan pusat penelitian perikanan Universitas Pattimura).
- Perikanan, wisata dan lain-lain sehingga perlu dijaga kelestariannya.

(c) Geomorfologi Pulau Ambon yang berupa pegunungan sampai langsung mencapai bibir pantai. Semua sungai mengalir dari daerah pegunungan dan bermuara di Teluk Ambon. Dengan demikian, Teluk Ambon menjadi sangat rawan terhadap polusi dan pendangkalan oleh material hasil erosi maupun sampah yang terbawa aliran sungai sehingga berdampak pada kepunahan biota laut, hutan mangrove, plankton dan ikan. Bahkan ikan lumba-lumba sudah jarang menampakkan diri karena sudah tidak ada lagi tempat yang nyaman bagi mereka.
(d) Bencana alam gerakan massa debris yang berupa banjir debris dan tanah longsor adalah dua hal yang sangat erat hubungannya. Bencana alam tersebut masih tetap berpotensi terjadi di beberapa wilayah di Pulau Ambon pada tahun tahun mendatang mengingat kondisi alam (topografi, morfologi dan geologi) dan cuaca yang baku balas.
(e) Perubahan cuaca secara global disebabkan adanya pemanasan global (global warming) berakibat anomali cuaca yang sulit diprediksi dan ini sangat memicu terjadinya bencana alam gerakan massa debris di Pulau Ambon.

4.2 Saran tindak lanjut
(a) Mengembangkan kawasan di Pulau Ambon dengan mengacu pada tata ruang dengan konsep berkelanjutan (sustainable development), biaya murah, partisipasif masyarakat dan berorientasi pengembangan daerah.
(b) Menyusun peta rawan bencana alam, khususnya bencana alam yang diakibatkan oleh gerakan massa debris dan mensosialisasikan kepada masyarakat luas.
(c) Melakukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah rawan bencana alam tentang kesadaran bermukim pada daerah tersebut. cara evakuasi dan jalur evakuasi pada saat terjadi bencana alam.
(d) Memasang peralatan sistem peringatan dini (warning system) meskipun dalam bentuk tradisional sekalipun pada daerah rawan bencana alam gerakan massa debris.
(e) Menyusun SID terutama untuk penanggulangan secara fisik sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu.

Friday, July 18, 2008

TEKNOSABO SEBAGAI TEKNOLOGI BERSIH

Selama ini masih banyak anggapan bahwa teknosabo identik dengan pembangunan Sabo dam yang berskala besar dengan beaya yang mahal, bahkan acapkali bangunan tersebut dianggap sebagai monumen manakala fungsinya tidak bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga dianggap pula bertentangan dengan kaidah ilmu lingkungan. Padahal ketika bangunan Sabo itu selesai dibangun sebenarnya bangunan tersebut telah berfungsi, yakni sebagai preventive structure terhadap kemungkinan terjadinya gerakan massa debris pada waktu yang akan datang. Jika tidak ada bangunan Sabo dam di Kali Boyong (BO-D6) maka gerakan massa debris akibat lahar Gunung Merapi Yogyakarta /Jawa Tengah pada tahun 1994 akan menelan korban yang jauh lebih besar.

Pekerjaan Sabo tak selalu identik dengan pembangunan melalui rekayasa sipil, Bahkan kegiatan pemberitaan dini terhadap kemungkinan akan adanya bahaya juga merupakan bagian dari pekerjaan Sabo. Demikian pula pekerjaan penghutanan kembali atau penghijauan di daerah hillside Sabo works serta pemasangan gebalan rumput pada tanggul suatu alur sungai juga merupakan bagian dari pekerjaan Sabo. Bagaimanapun juga penerapan teknosabo dengan pendekatan vegetatif merupakan hal yang penting dan tak tergantikannya fungsi vegetatif dalam kontek lingkungan. Namun demikian, disadari bahwa hasil dari upaya vegetatif masih bersifat jangka panjang bahkan masih mengalami banyak kendala jika diterapkan di daerah puncak suatu gunungapi aktif yang masih gundul karena pengaruh aktivitas vulkanik dari dalam dapur magma, sehingga diperlukan kombinasi dengan pendekatan teknik sipil yang bersifat quick yielding.

Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan ke depan menuju ke arah yang lebih baik. Tujuan penerapan teknosabo ke depan sekurang-kurangnya : Pertama, melindungi masyarakat dan harta miliknya dari ancaman bencana alam yang disebabkan oleh gerakan massa debris, dan menciptakan rasa aman bagi mereka. Kedua, memelihara kelestarian sumber daya alam, meningkatkan atau memperbaiki kondisi lingkungan sekitar. Ketiga, melindungi lahan-lahan produktif dan infrastruktur dari ancaman gerakan massa debris tersebut.

Jika penerapan teknosabo ke depan dapat dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik dan penuh kearifan maka tidaklah berlebihan jika dikatakan teknosabo sepantasnya menjadi TEKNOLOGI BERSIH (clean technology).



Balai Sabo merupakan CENTER OF EXCELLENCE
Pusat Rujukan Ilmiah dan Pusat Informasi (Scinetific Backbone) Teknosabo


TANTANGAN KE DEPAN

Secara umum tujuan penerapan teknosabo adalah mengendalikan gerakan massa debris (sedimen dan bahan rombakan lain) dengan prinsip MENGURANGI, MENGHAMBAT dan MENCEGAH gerakan massa debris agar tidak membahayakan dan menimbulkan kerugian baik jiwa maupun harta benda. Kecuali itu, TANPA DISADARI bangunan Sabo tersebut sekaligus akan memberikan sumbangan yang besar bagi naiknya muka air tanah guna mengisi akuifer sehingga akan memperoleh SAND FILLED RESERVOIR dan sekaligus sebagai bank penyimpan cadangan air baku.

Apakah kegiatan penghutanan kembali (reforestation) atau penghijauan (regreening) juga dapat dikategorikan sebagai kegiatan Sabo. Prinsip penanggulangan bencana alam yang disebabkan oleh gerakan massa debris adalah mengendalikan gerakan massa debris tersebut agar tidak merusak atau membahayakan. Penggundulan hutan merupakan salah satu penyebab terjadinya gerakan massa debris. Dengan vegetasi penutup yang baik di daerah pegunungan maka koefisien pengaliran menjadi kecil dan kemampuan air untuk menggerus tanah menjadi berkurang, dan akan memperkecil gerakan massa debris. Oleh sebab itu, teknosabo merupakan kombinasi antara pekerjaan vegetasi dan rekayasa keteknikan dan karenanya dikatakan sebagai synthetic technology yang layak diterapkan guna menanggulangi bencana alam oleh gerakan massa debris.

Gerakan massa debris tidak selalu bergerak dari atas ke bawah atau dari hulu ke hilir. Bencana TSUNAMI yang terjadi pada akhir 2004 juga merupakan gerakan massa debris yang sangat luar biasa, dimana aliran bergerak dari hilir ke hulu oleh hempasan gelombang pasang. Debris dan bahan rombakan lain yang terangkut juga menimbulkan kerusakan yang dahsyat pada DAS dan sumber-sumber air termasuk prasarananya, mengakibatkan pencemaran sumber-sumber air dan mengganggu penyediaan air baku bagi masyarakat. Endapan debris (sedimen dan bahan rombakan lain) pada sungai-sungai telah pula mengganggu dan menurunkan kapasitas alur sungai. Kondisi ini sangat membahayakan dan berpotensi menimbulkan bencana berikutnya berupa banjir atau gerakan massa debris berikutnya. Hantaman gelombang pasang dan endapan debris juga merusak jaringan irigasi. Bencana juga telah merusak pantai dengan segala ekosistemnya. Suatu tantangan baru dapatkah teknosabo memberikan andil dalam masalah ini.

Sebagai perisai terdepan dalam mengendalikan gerakan massa debris, pekerjaan Sabo dapat dikelompokkan menjadi tiga wilayah pengendalian. Pengendalian di daerah hulu dengan menerapkan HILLSIDE SABO WORKS, daerah tengah pada alur sungai dengan TORRENT SABO WORKS, dan daerah pantai dengan COASTAL SABO WORKS. Pada saat ini penerapan teknosabo masih terbatas pada hillside dan torrent Sabo works. Penerapan teknosabo untuk menanggulangi abrasi pada pantai dan tsunami dengan menerapkan coastal Sabo works merupakan suatu tantangan baru yang perlu dipikirkan bersama dan dikaji dengan lebih
arif.

PENERAPAN TEKNOSABO SAMPAI SAAT INI


Sampai saat ini teknosabo telah diterapkan baik di daerah vulkanik maupun nonvulkanik. Pendekatan vegetatif memasyarakat.lalui kegiatan penghutanan (reforestation), penghijauan (regreening) dilakukan khususnya oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan pendekatan melalui rekayasa teknik sipil dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Pada setiap daerah otonomi kedua pendekatan tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan partisipasi

Daerah yang telah menerapkan Teknosabo


Pengendalian gerakan massa debris dapat dilakukan secara struktur maupun non-struktur.







FAKTOR PEMANTIK BENCANA ALAM

1. POSISI INDONESIA

Posisi Indonesia yang terletak dalam Busur Vulkanik Lingkar Pacifik (Circum Pacific Volcanic Mobile Belt) dan Busur Vulkanik Trans Asiatik (Trans Asiatic Volcanic Belt) sehingga kurang lebih 17 % gunungapi di dunia terletak di Indonesia. Kenyataan ini ditandai dengan adanya tiga zona vulkanik di Indonesia, yakni Zona Pegunungan Alpin (Zona Pegunungan Sunda), Zona Asiatik Timur (Zona Minahasa-Sangir- Ragay), dan Zona Circum Australian (Zona Halmahera-Ternate). Kemudian memunculkan adanya sabuk gunungapi di Indonesia yang
dinamakan volcanic belt.

GUNUNGAPI AKTIF, LEMPENG TEKTONIK, RING OF FIRE


2. INDONESIA TERLETAK PADA KAWASAN HANCURAN

Beberapa daerah di Indonesia merupakan kawasan hancuran karena sesar sehingga memudahkan terjadinya bencana alam sedimen (sediment-related disaster)

Indonesia Volcanic Belt


Kerangka Tektonik (Simanjuntak, 1994)


3. TOPOGRAFI BERBUKIT

Indonesia merupakan negara yang mempunyai topografi berbukit, dimana di beberapa daerah dapat memiliki kemiringan lereng melebihi 30 derajat kondisi ini menyebabkan mudah terjadinya tanah longsor.

4. GARIS PANTAI CUKUP PANJANG

Sebagai negara maritim yang mempunyai garis pantai cukup panjang maka pengaruh laut juga memicu terjadinya abrasi pada pantai dan tsunami.

5. CURAH HUJAN TINGGI
ndonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai curah hujan sangat tinggi. Curah hujan rata-rata per tahun 2000 mm dan di daerah pegunungan dapat mencapai 4000 mm. Oleh sebab itu, Indonesia merupakan salah satu negara terkaya air di dunia.



6. PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

Perubahan iklim global ini mengakibatkan terjadinya iklim BAKU BALAS. Suhu udara di permukaan bumi pada tahun 1970 - 1980 relatif panas, dan antara 1980 - 1990 kembali relatif dingin. Perubahan ini terus berlangsung, dan pada awal abad 21 ini suhu udara di permukaan bumi kembali relatif panas, bahkan suhu atmosfer pada pertengahan abad 21 ini meningkat sekitar 3o C. Semua faktor yang mempengaruhi iklim, misalnya matahari dan berbagai fenomena geosfer, baik faktor alam maupun faktor manusia secara baku balas mempengaruhi terjadinya perubahan terhadap iklim global. Matahari berpengaruh langsung terhadap pemanasan terutama jika muncul dinamika di permukaannya, contohnya lidah api dan sunspot.






BENCANA ALAM DI INDONESIA

Bencana alam dapat didefinisikan sebagai GANGGUAN perubahan tata lingkungan sebagai akibat fenomena alam atau aktivitas manusia atau oleh kedua-duanya yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat, sulit diduga terjadinya, dan dapat menimbulkan kerugian jiwa maupun harta benda serta dapat menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Dari definisi di atas ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya bencana alam, yakni faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam bisa berasal dari dalam (endogen/ internal crustal processes) seperti gempa bumi atau letusan gunungapi, dan dari luar (eksogen/ external crustal processes) seperti banjir, kekeringan, gelombang pasang atau tsunami. Faktor manusia, misalnya berkaitan dengan pengelolaan bencana alam yang terjadi dalam suatu DAS.

Kedua faktor di atas, baik alam maupun manusia bisa menjadi subjek dan objek, menjadi pelaku dan penderita. Sebagai subjek atau pelaku, Indonesia dikaruniai alam yang amat kaya akan sumber daya alam. Namun, disisi lain sebagai negara kepulauan, dengan jumlah pulau (besar dan kecil) sebanyak kurang lebih 13.677 buah dan dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia merupakan negara yang AMAT RENTAN terhadap bencana alam TERUTAMA yang disebabkan oleh GERAKAN MASSA DEBRIS (gerakan sedimen dan bahan rombakan lain). Gerakan massa ini tidak hanya berupa gerakan sedimen melainkan juga bahan rombakan lain seperti terangkutnya batang-batang kayu dan lain-lain. Bencana alam ini terjadi antara lain oleh lahar akibat letusan gunungapi, tanah longsor yang dapat berupa terban (landslides) atau galodo (slope failures), serta gerakan debris oleh bahan rombakan lain termasuk tsunami.


Wednesday, July 16, 2008

Mengapa Indonesia Perlu Sabo?

Kata Pengantar

Lebih dari tiga dekade teknologi Sabo pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1970. Selama rentan waktu tersebut teknologi Sabo telah mengalami perkembangan dengan pesat. Jika pada awal perkembangannya teknologi Sabo hanya diperkenalkan sebagai teknologi untuk mengendalikan material sedimen di wilayah gunungapi, dewasa ini teknologi Sabo tersebut telah pula diterapkan di wilayah nonvulkanik khususnya pada wilayah sungai yang rawan bencana tanah longsor.

Dari hasil pengembangan teknologi Sabo, pada saat ini telah banyak dijumpai bangunan Sabo di beberapa wilayah di Indonesia. Namun, pemahaman akan fungsi bangunan tersebut serta mengapa teknologi ini begitu penting bagi bangsa Indonesia kiranya masih perlu terus disebarluaskan. Buku “Mengapa Indonesia Perlu Sabo” ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi wilayah Indonesia yang berada pada kawasan yang rawan bencana, serta dimaksudkan untuk memberikan pemahaman akan fungsi dan manfaat dari penerapan teknologi Sabo di Indonesia.

Kiranya buku ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi semua pihak, khususnya para pemangku kebijakan untuk memahami dan mengenal lebih jauh tentang kondisi kerentanan wilayah Indonesia serta perlunya penerapan teknologi Sabo dengan arif.


Ir. Chandra Hassan, Dip. HE., MSc

Your Ad Here

Sabo Teknologi di Indonesia

Selama ini masih banyak anggapan bahwa teknosabo identik dengan pembangunan Sabo dam yang berskala besar dengan beaya yang mahal, bahkan acapkali bangunan tersebut dianggap sebagai monumen manakala fungsinya tidak bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga dianggap pula bertentangan dengan kaidah ilmu lingkungan.